Saturday, January 19, 2008

value of time...

VALUE OF TIME

To realize the value of ONE YEAR, ask a student who failed a grade.

To realize the value of ONE MONTH, ask a mother who gave birth to a pre-mature baby.

To realize the value of ONE WEEK, ask the editor of a weekly newspaper.

To realize the value of ONE DAY, ask a daily wage laborer with kids to feed.

To realize the value of ONE HOUR, ask the lovers who are waiting to meet.

To realize the value of ONE MINUTE, ask a person who missed the train.

To realize the value of ONE SECOND, ask a person who just avoided an accident.

To realize the value of ONE MILLI-SECOND, ask the person who won a silver medal in the Olympics.

Monday, January 14, 2008

Segera ’Bangun’ saat Jatuh itulah entreprenuer...

Ada tips menarik ttg entreprenuer..
smoga bermanfaat...

Seorang eksekutif di perusahaan media yang sangat top, bercerita pada saya mengenai rencananya untuk meninggalkan organisasi yang sangat dicintainya itu. Padahal, ia masih sangat ‘terpakai’ dan relatif muda. Alasan utamanya adalah karena ia takut semangatnya menurun bila ia terus berada di perusahaan tersebut, tanpa bisa berkreasi dan mengambil risiko. Ia pun merasa perusahaan tempatnya bekerja mulai tua, “Doing the same thing”, katanya. Atasannya, ketika ia berpamitan, berkomentar, ”Mungkin kita-kita ini sudah mulai tua, sehingga tidak berani mengambil risiko”.

Sebagai pengamat, saya sungguh menyayangkan, melihat atasan ‘kalah’ spirit dengan anak buahnya. Padahal, untuk meneruskan perusahaan diperlukan visi agar perusahaan tetap gesit, fleksibel, fokus, memiliki horison jauh bahkan selalu futuristik. Sebagai wirausahawan, pimpinan perusahaanlah yang paling bertanggung jawab bila perusahaan mulai ‘melempem’. Atasan atau pimpinan perusahaanlah penarik pedati perusahaan untuk di bawa ke masa depan yang kian hari kian kompetitif ini.

Beberapa dekade lalu, entrepreneurship dianggap sebagai kualitas langka yang hanya dimiliki oleh pucuk-pucuk pimpinan perusahaan atau pengusaha-pengusaha. Bahkan, di beberapa perusahaan tertentu, orang-orang dengan semangat entrepreneurship tinggi, tidak diterima bekerja, karena dianggap ’membahayakan’ perusahaannya. Kekuatirannya adalah, mereka bisa melakukan ‘copy-paste’ kegiatan perusahaan, mendirikan perusahaan sejenis, bahkan menjadi kompetitor pula!

Saat ini, tanpa bisa dibendung, anak muda lebih komersial dan ‘profit oriented’. “Kalau tidak bermain dengan risiko, tidak seru!” demikian keyakinan mereka. Jiwa kewirausahaan, di mana kreativitas menjadi kompetensi, sekarang dianggap penting dalam mengembangkan bisnis. Karenanya, spirit entrepreneurship tidak boleh hanya dimiliki oleh para pimpinan perusahaan, tetapi perlu dimiliki oleh sebanyak mungkin individu dalam organisasi. Bahayanya bila entrepreunership tidak disadari keberadaannya, dan tidak secara sengaja di pelihara dalam suatu organisasi adalah: organisasi bisa cepat ‘mati muda’.

Perluas Peluang, Hitung Risiko
Dunia memang sedang didominasi oleh populasi anak muda “gen Y”. Dunia bisnis pun sedang didominasi oleh musik, hiburan, dan beberapa hal yang dikuasai oleh dunia anak muda. Inilah sebabnya semangat ‘discovery’ dan kejelian melihat peluang dari anak-anak muda ini perlu ditampung dan justru dikembangkan pada setiap karyawan.

Tidak heran lagi bila karyawan diberi kesempatan untuk membuat ‘business unit’ sendiri untuk mencobakan idenya. Ambisi karyawan yang berjiwa entrepreuner perlu ditampung. Keinginannya untuk mendapatkan ‘uang lebih’ daripada sekedar gaji pun perlu diseimbangkan dengan risiko yang ditanggung dan diperhitungkan. Bila perusahaan bisa mendapatkan untung melalui pengambilan risiko yang cermat, perhitungan yang mantap, dan pertimbangan bisnis yang tajam, mengapa tidak memberi kesempatan?

‘Passion’ yang Tak Ada Batasnya
To love what you do and feel that it matters – how could anything be more fun..? Katharine Graham.

Saya tidak tahu kapan teman anak saya, pengusaha café ,club dan restoran, beristirahat dan tidur. Malam hari ia berkeliaran di salah satu restorannya, menyapa tamu, mengontrol bar dan mencicipi makanan. Siang hari, ia berada di kantor dan mengontrol pembelian. Setiap akhir minggu, kita akan mendapatkan sms darinya pribadi mengenai event-event spesial yang sedang berlangsung di cafenya. Kecintaan pada pekerjaan memang tidak berbeda dengan mengerjakan hobi: tidak kenal waktu. Ini juga adalah rahasia para entrepreuner. Seorang entrepreuner tidak menghitung jam kerja, karena fokus totalnya adalah pada keberhasilan. Inilah sebabnya keberhasilan juga lebih di depan mata daripada orang orang yang sekedar berjiwa ‘pegawai’.

Action, Action, Action!
Beda semangat entrepreuner dengan pekerja biasanya juga terletak pada implementasi. Seorang entrepreneur tidak kenal kata menunggu atau mengobservasi saja. Dia adalah pemain dan partisipan dalam setiap kegiatan.

Semangatnya adalah ‘action’. Kesadaran bahwa problem solving dan risk taking hanya bisa dilakukan sempurna melalui komunikasi yang lancar dan terbuka, membuat para entrepreuner senantiasa mengasah ketrampilan komunikasinya. Mereka adalah ‘speaker’ sejati. Hal ini jugalah yang menyebabkan para entrepreuner ini mudah menampilkan optimisme, yang kemudian ditularkan ke lingkungan sekitarnya, yang lalu berbalik menjadi bersemangat men-support kesuksesannya.

Bagaimana dengan individu yang sudah terlanjur menjadi ‘pegawai’ dan belum pernah terpikir untuk mengarahkan diri menjadi entrepreneur? Kita tidak perlu menjadi entrepreuner. Yang perlu dikembangkan adalah semangat dan mindset-nya, karena dalam perusahaan yang maju, para ‘intrapreneur’ (eksekutif berjiwa entrepreuner) juga tetap bisa berkarya dengan leluasa.

Ciri-ciri Entrepreneur

• Semangat Berprestasi
• Sibuk Mencari Peluang
• Think Big & Whole
• Intuisi Tajam dalam Berbisnis
• Berani dan Siap Mengambil Risiko
• Toleran terhadap Ambiguitas
• Optimis dan Segera’Bangun’ saat Jatuh
• Cepat Berhitung & Mengambil Keputusan
• Terpacu untuk lebih ‘Sejahtera’

Just open your eyes... dude

Teman saya pernah mengajarkan, “Bila menghadapi kehilangan, kematian dan suasana duka, ucapkanlah ‘Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun’. Sebaliknya, bila takjub dengan keajaiban dan keindahan alam, menghadapi situasi dan pengalaman yang menyenangkan, ucapkan juga kalimat tersebut, yang berarti, “Segala yang berasal dari Allah yang Maha Kuasa, akan kembali kepada Allah”. Bagi saya kalimat ini sangat membantu di saat-saat sangat susah atau sangat senang, karena pada saat itulah kita seakan diingatkan kembali bahwa adik, kakak, anak, pasangan, rizki, keindahan alam, jabatan, karir, dan sehebat-hebatnya ikhtiar kita, adalah “pinjaman” dan “amanah”.


Meski sadar bahwa roda kehidupan memang harus berputar, namun begitu cepatnya dan semakin sulitnya kita memprediksi ‘future’ benar-benar bisa membuat kita panik, kehilangan pegangan. Kematian Benazir Bhutto, banjir yang melanda kota-kota yang biasanya tidak kenal banjir, air pasang yang menyebabkan bisnis pariwisata sekitar Kuta terpuruk, global warming, dan belum lagi ramalan-ramalan mengenai semakin ‘edan’-nya dunia di masa mendatang, benar benar membuat hati galau. Bagi saya, kata ‘change’ yang dikumandangkan para ahli manajemen dan futuris mulai terdengar basi. Baru saja merencanakan “action” perubahan, lapangan dan pasar seakan belut, licin dan sudah berubah lagi. Tak bisa menghindar, kita memang sudah berhadapan dengan hal-hal tak terduga. Dalam situasi serba tak terprediksi, bahkan kekacauan yang mengerikan begini, bisakah dan bagaimanakah kita bisa bersikap positif pada dunia kehidupan kita?


Be “Present”

Kata ‘Present’, berarti ’hadiah’ dan juga berarti ’saat ini’. Seorang ahli time management, mengatakan bahwa ‘being present’ (keberadaan kita saat ini) adalah ‘present’ (hadiah) terbesar dalam hidup kita. ‘Being present’ berarti realistis dan sadar apa yang ada dihadapan kita, menghargai dan memanfaatkan semua ‘resources’ yang kita miliki. Being present atau ‘Live your Life’, adalah nasihat Richard Branson, pemilik Virgin Group pada putra-putrinya ketika ia tengah menghadapi maut, agar mereka menghayati betul kehidupan yang tengah dilalui sekarang, tidak menyesali masa lalu dan tidak kuatir akan masa depan. Tidak pelak lagi inilah pilihan sikap yang paling sehat dalam menghadapi hidup ini.


Memilih sikap ‘being present’ memang mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan. Berapa sering pikiran kita melayang dan tidak “konsen” bila sedang rapat, mengikuti pelatihan, menghadapi klien, bahkan menghadapi anak sendiri? Kita sangat sadar bahwa orang yang paling penting adalah orang di hadapan kita, tetapi berapa sering kita menerima panggilan telpon genggam ketika menghadapi orang secara tatap muka? Rasanya kita memang masih bisa lebih menghargai momen-momen yang sebenarnya sudah diberikan kepada kita dan lebih memanfaatkan sebaik-baiknya .


Kita Dibutuhkan oleh Orang Lain

Teman saya yang bermukim di Inggris, tiba-tiba mencari pekerjaan di Indonesia. Ketika saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa ia menemani ibunya, yang semakin meningkat percepatan “layu”-nya sepeninggal ayahnya. Keluarga, teman yang bahkan sudah lebih dekat daripada anggota keluarga, kolega yang sudah bersusah-senang bersama kita, adalah “kekuatan” bahkan “mistik” tersendiri yang membuat kita bisa menikmati hidup dan menjadikan kita bisa lebih kokoh berdiri menghadapi kekacauan, badai, serta cobaan.


Kita sebenarnya bisa menghitung betapa beruntungnya kita bila masih ada teman, kakak, adik, suami, istri, anak, atau tetangga yang bisa kita ajak merapatkan barisan atau bahkan “holding hands” di kala gundah. Sebaliknya, kesadaran bahwa kita bisa memberi support mental kepada anggota keluarga lain, saudara, teman, tetangga, akan membuat kita mendapatkan kekuatan dan semangat menolong dobel karena keyakinan bahwa kita dibutuhkan.

Niat Baik adalah Pondasi

Dalam suatu pertemuan, saya mengajak para peserta yang hadir untuk mengungkapkan misi dan niat utama dalam bekerja dan dalam hidupnya. Saya cukup terkejut, karena ternyata sangat sedikit yang bisa dengan lantang menyebutkan niatnya. Entah karena malu, jarang melakukan introspeksi diri atau sekedar tidak ingin terbuka. Yang jelas, bila niat kita tidak terbaca, tidak jelas atau tidak dimengerti, maka gerak dan langkah kita pasti juga tidak jelas dan mengambang.

Niat seperti, ”Saya ingin belajar terus sampai usia 70 tahun”,”Saya ingin anak buah saya sukses”, ”Saya ingin jadi orangtua yang baik, ketimbang jadi profesional yang sukses”, atau ”Saya ingin berwirausaha bila tabungan saya cukup”, sebenarnya tidak perlu disembunyikan atau ditutup-tutupi. Asalkan niat kita lantang, lurus, bersih dan tidak diwarnai dengan “vested interest”, maka biasanya kita akan punya pengikut, mendapatkan kawan seperjuangan, bahkan bisa melihat persamaan arah dengan orang lain, perusahaan, bahkan Negara. Niat yang baik dan kuat bisa menjadi pondasi kita agar tetap berdiri bagai batu karang dalam hempasan ombak. Apalagi kalau kita betul-betul berniat untuk mencerdaskan, membersihkan dan membela lingkungan, apalagi bangsa.

Jatuh, bangun, terpuruk, sukses akan selalu kita alami sepanjang perjalanan hidup kita. Tapi, masih ingatkah Anda film getir “Life is Beautiful” (La vita è bella) karya sutradara dan aktor kondang Roberto Benigni? Kalau dalam keadaan terjepit, hampir terbunuh begitu, ia masih bisa melihat indahnya kehidupan, kita pun pastinya bisa menghadapi kompleksitas situasi dunia kita dengan sikap yang lebih optimis dan menghayati betapa berharganya hidup ini.


“Just open your eyes. And see that life is beautiful.”(Roberto Benigni)