Tuesday, April 22, 2008

Potret Keprihatinan Pendidikan Tinggi di Batam

Potret Keprihatinan Pendidikan Tinggi di Batam


Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang sangat mulia untuk menjalankan fungsi Reaserch and Development serta arena penyemaian Sumberdaya Manusia (SDM) baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Belum genap setahun pemerintah memutuskan status hukum Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ) diberlakukan menyeluruh untuk kawasan ekonomi khusus (KEK/SEZ) Batam, Rempang dan Galang (Barelang) serta nota kesepahaman (MoU) antara pemerintahan Indonesia dan Singapura untuk pembentukan zona ekonomi khusus Batam, Bintan, dan Karimun. Salah satu tuntutan FTZ adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Sebab dalam hal ini pendidikan tinggi dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan.

Adanya rencana pembentukan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) sebagai salah satu perguruan tinggi negeri di Kepri ini sejak beberapa kurun terakhir sudah mulai menjadi wacana publik di Batam, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Momentum pembentukan UMRAH ini merupakan saat yang tepat untuk senantiasa berkaca dan melakukan pelurusan kembali terhadap penyimpangan orientasi yang terjadi pada kondisi pendidikan tinggi di Batam secara keseluruhan.
Kondisi pendidikan tinggi di Batam saat ini cukup memprihatinkan. Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis atau komersialisasi. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Ada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.

Ditengah besarnya angka pengangguran di Batam yang telah mencapai lebih dari 23 ribu orang (data Disnaker awal tahun 2008), langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi dan kecenderungan banyak perusahaan yang melakukan perekrutan pegawai dari luar Batam mengingat SDM lokal kurang dapat bersaing dalam hal kualitas.

Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja. Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.

Lebih parah lagi, tidak bisa dipungkiri ada PTS yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom (nasib dengan IP/IPK satu koma). Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses pembodohan bangsa bukan mencerdaskan bangsa. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan hanya menjadi komoditi bisnis semata.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

1 comment:

Anonymous said...

Itebe..itebe..iiitteeebeee..